Puisi-puisi Jang Sukmanbrata
MULANYA SAJAK DARI BAPAK ADAM
Adam bapak kita dicipta dari tanah liat tujuh tempat, daratan, dasar lautan dan tanah lempung surga:
Tuhan tiup dengan angin wangi melati Bahasa cinta petani anggur dan kopi
Kala sendiri belum mengenal khuldi Jangan melupakan Lelaki sunyi!
Kita pun Adam dan Hawa
yang ruhnya melewati sulbi para nabi
kita menulis puisi dari angin unsur diri,
belajar dari empu dan kitab suci, seraya bertani sambil bernyanyi, menyeka lelah dengan ratusan kata Raga ini benih yang ditaburkan Adam ke Hawa sebagai kebun kaya hara, tak pernah kering cinta!
Ini desir air mengantarkan puisi pagi
Kata-kata kita bahasa surga pertama,
lahir di celah bibir
ada tipuan - sarat canda, biasa saja!
Tupai makhluk pertama di bumi menari,
anak burung belajar terbang sendiri, jatuh bangun di ranting
Sepintas dikisahkan surganya Adam tanpa mega mendung dan langit!
Ini denyut jantung menderukan kidung
hidup selaksa nafsu di asuh akal,
dibatas dikurung.
bagai membaca sajak di atas kuda
yang berlari tenang menuju kandang
pelananya itu panduan leluhur,
dibantu tali kekang pepatah ibu
Bayangkan jiwamu serupa batu diselimuti lumut di jalan menurun!
Oh tak terduga, bisa terlunta kita!
bila di laut lepas bisa terbawa ombak, dan mulanya tak dipinta!
Hati itu sehelai sayap tipis yang melayang, kerap tersangkut di duri mawar;
sadar saat beranda dilewati sinar bulan
Sejak itu sajak berlalu lalang di taman.
//bukit Padalarang, 21-22 Mar.2020
SAYUP - SAYUP LAUT
1_
coba mengenang
ya di masa sekarang
ombak selatan
bayangan kematian
datang serupa kuda hitam
2_
terdengar sayup
disunting angin gunung
suara laut
cinta warisan ibu
batu karang tertangguh
3_
mengapa datang
gulungan mulut ombak
tangan terluka
memeluk batu karang
maut lepas bercanda
4_
sangat merindu
belum lama menjauh
birunya laut
seperti lagu merdu
cinta ibu di kalbu
5_
oh datang ombak
lari ke batu karang
pedih telapak
jiwa kuat berpegang
daya hidup membuncah
6_
terkenang laut
butiran pasir lembut
lambaian nyiur
tatapan mata rindu
gurat lelah terhapus
7_
terbayang pantai
menyelam sampai dasar
terumbu karang
cipratan cinta dalam
membunuh api dendam
8_
kepakan burung
tidak bosan bertarung
camar Yang Agung
arus gelombang hidup
cita sekokoh gunung
9_
bahtera kayu
gambar di ujung baju
ikannya ungu
bulan sabit di laut
ciumannya gemuruh
10_
berkibar rambut
tiupan angin laut
daunan gugur
cinta kuat berdegup
perahu o dikayuh
11_
kenapa abai
laut tidak berbadai
indahnya pantai
malapetaka hilang
senyuman itu bulan
12_
ombak menggusur
suara tembus kampung
tawa pun riuh
biarkan buih pupus
o ombak kecuplah rinduku
13_
kenangan pantai
melihat bintang timur
nelayan datang
tepukan sayup-sayup
saudaraku pelaut
/bukit Padalarang, 19Juli2020
DI MATAMU ADA LAUT
tatapan biru
menembus langit biru
laut biru matamu
tak menyisakan ungu
ataupun violet di hitam mataku
hidup ini panjang yang pendek itu lagu kata kita pertemuan indahnya di peluk suapan tanganku juga tanganmu satu tak berubah lho, itu kan ciuman rindu
: maut melipat lipat waktu, selalu mau
Mungkin hatimu pilu
Keberanian seperti api tungku
Rencana pun dilipat diselipkan di buku
Jadi tak perlu menunggu;
Buat saja keputusan meski lewat ragu
Toch lahir ke bumi langsung jadi buruh
tebalnya debu
nikmat dalam rambut
pupus dicium
/Kabuyutan Gegerkalong, 4 April 2021
DAN OMBAK ITU
dan ombak itu
masuk ke darahku sambil pecahkan bisu
ajak angin menembus hutan dunia maya
kidung seruling bambu dilantunkan
liukan suaranya merindu kampung
perjalanannya kerap dijebak kabut
sinyalnya dibatas udara - terperangkap
dan ombak itu
mentari atas laut
sehelai rambut
wajah manismu buruanku
keringat dahimu bisikan lembut maut
sinyalnya dihadang gunung - terpasung
membasuh batu
lumut tergerus waktu
dan ombak itu
mulutnya kidung buhun
sinyal digulung buih - terbentur perahu
dan ombak itu
layar cahaya biru
embun berduyun
sinyalnya rindu dituntun - tergantung
di pinggir batu
air menciprat lutut
dan ombak itu
bikin perahu kertas kuyup
sinyalnya hidup digital - terserah musuh.
/bukit Padalarang,
14.4.2020 - Sep2021
LAUT KADANG BISU
sudah berlalu
ombak main di jauh
langit dan laut
rindu putih ke biru
tanah air kampungku
memasang lampu
rumah tempat bertemu
kakinya lesu
tiada bongkah batu
hati selembut lumut
lihatlah laut
mata menjadi biru
hanyalah siput
coba lari menjauh
bumi pelukan maut
/Pelabuan Ratu, 2021
-CenderamataLaut
LAUT ITU IBU
I
dari lautan ke daratan
segulung ombak saja yang tiarap hilang
dari waktu yang membelenggu itu
sekerutan kulit di bawah dagu
melukiskan perahu berlabuh
tatapan mata mengikuti kepakan burung
waktuMu pisau di atas daun nyiur
senjakala ini tak layak disesali
aku kadung menyatu di bumi
terang tanpa selingan kabut kutiti
Lalu semua tetes embun pun jadi hening
II
laut punya cerita
pantai menyimpan jejak tualang
di rumah batas desa
sudah kulupa kapan kita pertama jumpa
selembar kertas penuh tulisan sajak
darat punya gelora dendam
tak habis dikikis hujan
tak luntur dibungkus kabut
sungguh banyak kehilangan buku
dimana aku membuat balai bambu
: menyusun kembali riwayat atas batu
Atas tepian kolam warisan ibu
III
laut dan ibu
menampung langit biru
senyuman lembut
bekas belur terjatuh
diusap angin gunung
# pasir gede Padalarang, 20Sept2019
POTRET NELAYAN DI PERAHU LAYAR
: Teringat Abdul Hadi WM.Indahnya perahu layar di laut
Semua punya nama dan jejak,
tapi berlalunya perahu
tak ada jejak yang nampak,
dihapus arus air beriak, dibawa ombak, disimpan dalam senyap.
Cakrawala megah atas gulungan ombak
Bicara padanya; ya aku menangisinya seperti Nuh pada Kan'an yang dihempas air bah di puncak gunung,
ditariknya ke dalam permainan angin dan kawanan buih.
Ratapannya terekam sepasang burung gagak yang mengucapkan perpisahan pada gua, nyaman di ujung geladak bahtera Nuh.
"Anakmu bukan lagi putramu, berlayarlah sebelum semua pasukan air dan tentara gelombang merendam dunia, pohonan masuk karantina dalam tanah
Ketika air bah kembali panas matahari mengeringkannya.
Laut adalah samudera
Perahumu penanda pencarian kebenaran, menjadi pelajaran hidup orang pantai.
Pasang layarnya biar suara keindahan disaksikan awan".
Perahu layar itu sudah pulang
saat semburat jingga menyilahkan remang-remang datang.
Tak ada putus asa;
langkah nelayan, laju perahu,
layar terkembang dan angin berhembus itu percakapan paling merdu.
Seluruhnya begitu kecupan mulut ombak di pasir tak pernah berakhir
sampai angin pun di nyiur ada jeda sunyi.
Perahu layarnya membentang, kencang angin laut mencumbunya mesra
kadang keras bila berdiam,
kaulah sayangku layar segalanya, suaraku menyatu di gema panjang
kau tak pernah tertinggal di dermaga
perahu jalannya tergantung nelayan;
Nelayan handal yang dididik ombak, diasuh hujan, dibina mentari pagi - senja, di taruhan hidup, dan hiburannya lebur
di cerita anak-anak ke ibunya.
/Juli2021
BALADA NELAYAN BIRU
sebutir pasir
terhempas ke perahu
bayangan nyiur
belum berani pulang
sendirian mendayung
di pasir kering
di ujung pantai sepi
lolongan anjing
anak mengambil topi
ombak lalu kembali
menuju pulang
segala arah menerjang
terkurung ombak
sekejap lampu padam
perahu terbalik karam
di biru laut
segaris mega mendung
pecahan kayu
perahu ngambang sendu
sampai kabar ke kampung
di pantai besar
di geladak nelayan
pecah tangisan
mayat dibawa ombak
pelukan duka panjang
#balada tankaren
Pangandaran, 23Jul.2019
Biodata:
Jang Sukmanbrata lahir di Bandung, 17 Agustus 1964. Karya puisinya beragam genre: di buku antologi puisi Negeri Pesisiran; 2019 & buku Antologi Puisi Negeri Rantau; 2020- DNP-Penerbit KKK.
Sejumlah 30 haiku-nya di koran PosBali 2019, puluhan karya puisinya di beberapa buku antologi bersama. Karya tanka dan haiku-nya di buku - buku antologi Newhaiku Puisi dan esainya di Majalah Elipsis 2021.
Email: sukmansatyariga@gmail.com
0 Komentar