SEJARAH
PERKEMBANGAN
PESANTREN
BAHRUL ULUM AWIPARI TASIKMALAYA
(Periode
1900-1955)
Oleh Kang Mahrus MS[1] mahrus.tasik@gmail.com
Abstrak
Tasikmalaya
dikenal sebagai “kota santri” atau tepatnya “kota pesantren”. Hal itu
dibuktikan dengan adanya pesantren-pesantren yang secara kuantitatif berada di
kota ini, salah satunya banyak terdapat di Awipari. Awipari merupakan nama
tempat yang kemudian menjadi nama Kelurahan di wilayah Kecamatan Cibeureum Kota
Tasikmalaya. Disini terdapat pesantren-pesantren besar diantaranya Pondok
Pesantren Bahrul Ulum di Kampung Awipari Wetan, Pondok Pesantren Hidayatul Ulum
di Kampung Awipari Kulon, Pondok Pesantren Hidayatul Mustafidz di Awipari
Kulon, Pondok Pesantren Nurul Huda KH. Mansur di Cikawung, Pesantren Al-Mubarok
dan pesantren-pesantren lainnya. Uniknya pesantren-pesantren yang berada di
Awipari merupakan pesantren yang secara kekeluargaan dan keilmuan masih satu
nasab. Ini menjadi pertanyaan mendasar, mengapa di Awipari terdapat
pesantren-pesantren besar yang eksistensinya sampai saat ini masih terjaga.
Perkembangan pesantren di Awipari tidak terlepas dari peran Eyang Mama Husen,
seorang tokoh yang “tak tercatat” dalam sejarah perkembangan pesantren di
Tasikmalaya pada khususnya dan Jawa Barat pada umumnya. Sejarah tentang Eyang
Mama Husen hanya sebatas lisan, karena tidak banyak catatan-catatan yang ada.
Tulisan ini mudah-mudahan menjadi awal historiografi tentang sejarah pesantren
di Tasikmalaya yang tentunya akan nampak berbeda dengan penulisan-penulisan
sejarah yang sudah ada.
Pendahuluan
Secara umum tentang pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama, kyai sebagai central figurnya, masjid sebagai titik pusat yang menjiwainya. Ini sejalan dengan penegasan Mastuhu dalam penelitiannya tentang dinamika sistem pendidikan pesantren yang menyatakan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fî al-dîn) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.[2]
Selanjutnya
Mastuhu menyatakan bahwa penyelenggaraan lembaga pendidikan pesantren berbentuk
asrama yang merupakan komunitas tersendiri di bawah pimpinan kiyai atau ulama
dibantu oleh seorang atau beberapa orang ulama dan atau para ustadz yang hidup
bersama di tengah-tengah para santri dengan masjid atau surau sebagai pusat
kegiatan peribadatan keagamaan, gedung-gedung sekolah atau ruang-ruang belajar
sebagai pusat kegiatan belajar-mengajar, serta pondok-pondok sebagai tempat
tinggal para santri. Senada dengan pendapat Mastuhu, Zamakhsyari Dhafier dalam
penelitiannya tentang tradisi pesantren menyimpulkan bahwa pesantren adalah
sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama
dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal
dengan sebutan Kiyai. Pakar ini mengungkapkan bahwa sekurang-kurangnya harus
ada lima elemen untuk dapat disebut pesantren, yaitu ada pondok (asrama),
masjid, kiyai, santri, dan pengajian kitab Islam klasik yang sering disebut
kitab kuning.[3]
Lalu bagaimana
sejarah perkembangan pesantren di Jawa Barat atau khususnya di bumi
Parahyangan? Bagaimana ketertarikan sejarawan terhadap penulisan sejarah lokal?
Ketertarikan
pada sejarah ternyata bukan hanya terjadi dikalangan akademisi, tetapi juga
berasal dari kalangan profesi lainnya. Jagat Historiografi Indonesia kemudian
diramaikan pula seiring dengan semakin berkembangnya teori-teori dan metodologi
ilmu pengetahuan. Hal lain yang juga ikut meramaikan penulisan sejarah
Indonesia adalah munculnya beberapa kepentingan yang membutuhkan legitimasi
sejarah, yang kemudian melahirkan beberapa penulisan sejarah berdasarkan
persepsinya masing-masing. Perkembangan ini menjadi menarik karena penulisan
sejarah menjadi beragam. Keragaman dalam penulisan sejarah tidak saja mengenai
topiknya tetapi juga tentang wilayah objek kajian penulisan atau penelitian
sejarah. Hal ini kemudian melahirkan gugatan kepada Sejarah Nasional Indonesia,
salah satunya dari kalangan umat Islam yang mempertanyakan bagaimana posisi
Historiografi Masyarakat Islam di Indonesia dalam konteks Sejarah Nasional
Indonesia.[4]
Ada banyak penelitian sejarah dan historiografinya tentang sejarah pesantren di Parahyangan yang dapat kita temukan baik oleh para sejarawan maupun para akademisi. Semisal sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ading Kusdiana, Nina Herlina Lubis dkk. dalam “The Pesantren Networking in Priangan (1800-1945)”.[5]
Dari
tulisan-tulisan yang ada, penulis menganggap belum ada yang secara detail
melakukan kajian historis atas sejarah pesantren di Kota Tasikmalaya. Hal ini
dianggap penting mengingat Tasikmalaya dikenal sebagai “Kota Pesantren”,
terlebih di Kota Tasikmalaya terdapat satu kelurahan yang bernama Awipari,
disinilah tempat lahir dan berkembangnya pesantren-pesantren yang eksistensinya
terjaga hingga sekarang.
Inilah yang
menjadi perhatian lebih penulis untuk mencoba melakukan penelitian lebih jauh
tentang hal ini. Penulis menduga (seperti yang dijelaskan pula oleh Azyumardi
Azra tentang teori “jaringan ulama”)[6]
bahwa tokoh-tokoh pelaku sejarah pesantren tidak “ujug-ujug” datang ke suatu tempat untuk bermukim dan seterusnya.
Orang tua terdahulu tentu mempunyai alasan dan melalui proses spiritualitas
khusus ketika “melaku-lampahkan”
jejaknya.
Teori inilah
yang menjadi dasar ketertarikan tersebut untuk dituangkan dalam bentuk tulisan
yang sedarhana ini diawali dengan melakukan pengamatan keberadaan “maqom” sebagai
bentuk peninggalan masa lampau. Harapan penulis selanjutnya adalah tulisan awal
ini akan dilanjutkan dengan penulisan sejarah pesantren secara
komprehensif.
Dalam Historiografi terdapat sebuah tahapan heuristik, dalan tahapan ini dikenal adanya sebuah teori tentang keberadaan maqom atau makam sebagai indikasi awal adanya permukiman dengan aspek kehidupan yang cukup kompleks. Maqom atau makam juga mengandung berbagai data yang penting untuk menggambarkan masyarakat pendukungnua di masa lalu. Jadi maqom atau makam bukan hanya dapat dilihat sebagai warisan yang harus dilestarikan tetapi juga harus dicari maknanya. Banyak aspek yang membawa kita kepada pemahaman makna yang ada pada wujud maqom atau makam sebagai sebuahwarisan.[7]
Dalam upayanya
untuk melakukan penelitian tentang sejarah lokal yang mungkin “tak tercatat”
dalam historiografi Islam di Tasikmalaya pada khususnya dan Jawa Barat pada
umumnya penulis mendapatkan beberapa kata kunci dari
penelitian
ini yaitu:
1.
Maqom;
2.
Silsilah:
3.
Eyang Mama Husen;
4.
Pesantren Awipari;
Periode Awal
(1900-1920)
Tidak banyak
sumber yang dapat menjelaskan aejarah perkembangan Pesantren Awipari pada kurun
waktu ini. Perkembangan Pesantren Awipari periode awal tidak bisa dilepaskan
dari peranan Eyang Mama Husen. Penulisan
terhadap tokoh ini bisa saja dikatakan “subjektif” karena keterikatan emosional penulis pada garis nasab/silsiah keluarga. Sejak lama pihak keluarga tidak ada yang berani untuk mengungkapkan asal muasalnya. Ketika ditanyakan kepada pihak keluarga tidak ada satupun yang “berani” menjelaskan dengan alasan tertentu.
Ihwal
keberanian penulis untuk mencoba mengungkap siapakah sosok Mama Husen? berawal
ketika penulis bersama Tim PCNU Kota Tasikmalaya menjadi pendamping Tim
Ekspedisi Islam Nusantara yang dilakoni Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Dalam
ekspedisinya, PBNU memilih Cirebon dan Tasikmalaya sebagai objek kajian
Ekspedisi Islam Nusantara untuk wilayah Jawa Barat. Inilah mungkin yang
dijelaskan oleh Louis Gottschalk bahwa sejarah sebagai proses rekreasi yang
subjektif.[8]
Teori “tidak ujug-ujug” inilah yang menjadi
dasar awal penelitian ini. Penulis menganggap Cirebon dan Tasikmalaya mempunyai
ikatan emosional dalam sejarah. Setelah mencari kata kunci awal penelitian ini,
penulis mencoba untuk berziarah ke maqom Eyang Mama Husen yang bertempat di
Kampung Awipari Kulon Kelurahan Awipari Kecamatan Cibeureum Kota Tasikmalaya.
Dari kunjungan spiritual tersebut penulis mendapatkan pertanyaan awal tentang apakah ada hubungan antara maqom Eyang Mama Husen di Awipari Kota Tasikmalaya dengan maqom Syekh Abdul Wajah di Banagara Ciamis? Mengingat ada unsur kesamaan dalam tipologi maqom keduanya serta para peziarah baik keluarga ataupun orang luar yang sengaja berziarah ke maqom keduanya.
Gambar
1
Maqom
Syekh Abdul Wajah Banagara Cirahong
Ciamis
Gambar
2
Maqom
Eyang Mama Husen
Kemudian
penulis terus mencoba membuka tabir atas pertanyaan tersebut sampai akhirnya
mendapatkan keterangan dari KH. Endang Ajidin saat mendampingi Tim Ekspedisi
Islam Nusantara di Pamijahan pada tanggal 26 April 2016.9
KH. Endang Ajidin dalam kesempatan itu menjelaskan hubungan kekerabatan Eyang Mama Husen Awipari dengan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan. Dalam keterangannya ia menyatakan bahwa Eyang Mama Husen masih kerabat dekat dengan Kangjeng Syekh Abdul Muhyi, ia merupakan putra Eyang Siti Ruqiyah yang maqomnya berada di daerah Tonjong Desa Joglo Kecamatan Cikatomas. Eyang Siti Ruqiyah merupakan cucu dari Kangjeng Syekh Abdul Muhyi yang bersuamikan Eyang Kahfi yang berasal dari Sukapura (Sukaraja).[9]
Gambar
3
Maqom
Eyang Siti Ruqiyah Joglo Tonjong
Pancatengah
Gambar 4
Maqom Eyang Kahfi
Joglo Tonjong Pancatengah
Gambar 5
Maqom Syekh Khoerudin dan Syekh JanaluddinJoglo Tonjong Pancatengah
Hal senada dikuatkan oleh Rd. Sulaeman Anggapradja, salah seorang tokoh Garut yang juga keturunan dari Sukapura. Ia menjelaskan silislah Syekh Abdul Muhyi kaitannya dengan Galuh dan Sukapura.[10]
Dalam risalah “Adab-Adaban Ziarah Qubur”, (Alm.) KH. Najmudin atau dikenal dengan Apa KH. Ahmaji pendiri Pesantren Hidayatul Ulum Awipari menjelaskan bahwa Eyang Kahfi merupakan saudaranya Syekh Khoeruddin dan Syekh Jamaluddin.
Berikut adalah silsilah dari Eyang Mama Husen Awipari:
Kangjeng
Syekh Abdul Muhyi Safarwadi
(Menikah
dengan Sembah Ayu Bakhta/Bakta binti Dalem Sacaparana bin Kyai Rangga Gede)
Nyai
Madyakusumah
(Menikah
dengan Syekh Najmuddin Lengkong Kuningan)
Syekh
Sembah Imam Waji
Rd. Muhammad
Ayin (Eyang H. Na’im)
Eyang
Siti Ruqiyah
(Menikah
dengan Eyang Kahfi Sukapura/Sukaraja)
Eyang
Mama Husen
(Menikah dengan Eyang Siti Khodijah binti Eyang Abdul
Karim)
Para
Masayyikh Pendiri Pesantren Bahrul Ulum
Pernyataan KH. Endang Ajidin ini kemudian melahirkan pertanyaan baru bagi penulis tentang sosok Eyang Mama Husen yang berasal dari “pakidulan” Cikatomas (Pancatengah) tetapi keberadaan maqomnya berada di Awipari Kota Tasikmalaya.
Informasi mengenai keberadaan Eyang Mama Husen di Awipari baru terungkap oleh penulis setelah mendapatkan keterangan dari salah seorang peziarah di Maqom Eyang Mama Husen. Ia menjelaskan gurunya yang bernama KH. Dede pernah menceritakan bahwa Alm. Kyai Faqihudin Pengasuh Pondok Pesantren Bendakerep Cirebon pernah bercerita tentang santri Mbah Soleh pendiri Pesantren Bendakerep Cirebon yang bernama Haji Abdul Karim. Mbah Soleh memberikan wakaf seluas satu hektar untuk pendirian pesantren di Awipari.
Selanjutnya
didapatkan keterangan bahwa selagi muda Mama Husen mondok di Pesantren
Bendakerep Cirebon dibawah asuhan Mbah Soleh.[11]
Mbah Soleh merupakan keturunan ke-9 dari Sunan Gunung Jati yang mendirikan Pesantren Bendakerep Cirebon yang pada awalnya bernama Kampung Cimeuweuh. Ia hidup semasa KH. Asy’ari pendiri Pesantren Tebuireng yang juga merupakan ayah dari Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari. Pondok Pesantren Bendakerep Cirebon merupakan pengamal Toriqoh Syatariah, Mbah Soleh (wafat tahun 1307 H/1886 M).[12]
Di Pesantren Bendakerep Cirebon inilah Mama Husen bertemu dengan Haji Abdul Karim yang berasal dari Awipari Tasikmalaya. Atas petunjuk Mbah Soleh, Mama Husen diperintahkan untuk ikut bersama Haji Abdul Karim untuk bermukim di Kampung Awipari Cibeureum Tasikmalaya. Haji Abdul Karim adalah alumni Pesantren Bendakerep Cirebon yang diberikan amanat berupa uang (sekitar 100 gulden) oleh Mbah Soleh untuk membeli tanah seluas kurang lebih satu hektar di Kampung Awipari.
Entah motif apa yang membuat Mbah Soleh memerintahkan Mama Husen untuk mukim di Kampung Awipari tersebut. Namun dari keterangan tersebut menggambarkan kedekatan keduanya sebagai kyai dan santri. Selain itu Mbah Soleh mungkin mengetahui bahwa di Awipari terdapat keturunan-keturunan dari Pamijahan sebagai pengamal Toriqoh Syatariyah sehingga ia memerintahkan Mama Husen untuk bermukim di Awipari. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Mama Husen merupakan putra dari Eyang Siti Ruqiyah cucunya Syekh Abdul Muhyi Safarwadi yang berasal Tonjong Joglo Cikatomas.[13]
Dari hasil penelusuran penulis melalui beberapa literatur silsilah dan sejumlah tradisi lisan, ditemukan jejak-jejak keturunan Pamijahan di Awipari, yaitu keturunan dari Syekh Abdul Wajah (dimakamkan di Banagara Ciamis) yang merupakan suami dari Rd. Ajeng putri Syekh Abdul Muhyi dari istri yang bernama Sembah Ayu Salamah binti Wiradadaha III/Dalem Sawidak.[14] Setelah bermukim di Awipari, Mama Husen dijadikan menantu oleh Eyang Abdul Karim dengan menikahkan putrinya yang bernama Siti Khodijah (lahir tahun 1284 H).[15] Sesuai petunjuk dari Mbah Soleh Bendakerep Cirebon, Eyang Abdul Karim kemudian memerintahkan Mama Husen menjadi guru ngaji di Masjid yang didirikannya dan kemudian mendirikan pesantren di Kampung Awipari dengan modal tanah hasil pemberian Mbah Soleh.
Hasil pernikahannya dengan Siti Khodijah binti Eyang Abdul Karim,
Mama
Husen mempunyai tiga orang anak:
1.
H. Mahmudin (Pereng Ciakar);
2.
KH. Masduki/Mama Masduki (Awipari Wetan); dan
3.
H. Sulaeman (Awipari Kulon).
Periode Tahun
1920-1944
Setelah wafatnya Mama Husen (tahun wafat tidak diketahui), Pesantren
Awipari dilanjutkan oleh putra "pangais bungsu" yang bernama KH. Masduki (Mama Masduki) sekitar tahun 1920an. Kyai Masduki juga dikenal sebagai pejuang yang ikut melawan penjajahan Belanda. Dialah yang kemudian mengembangkan pesantren yang sangat sederhana. Pada tahap awal berdirinya, pesantren ini hanya berupa sebuah masjid dan pondok yang terbuat dari bambu. Pendirian Awipari segera mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat karena keadaan masyarakat sekitar, baik di bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, agama, masih sangat memprihatinkan. Kondisi ini terjadi karena praktek penjajahan Belanda dulu.[16]
KH. Masduki
menikah dengan Hj. Juhronah asal Pangadegan. Dari pernikahannya ia mempunyai
empat orang anak:
1.
KH. Busthomi/Abah KH. Busthomi (Awipari Wetan);
2.
KH. Tijani (Awipari Kulon);
3.
KH. Olon Sahil Mawardi (Awipari Wetan); dan
4.
Nyai Ai (Awipari Kulon).
Mengenai kapan
berdirinya pesantren ini penulis dapat memberikan analisis dengan beberapa hal
fakta sejarah sebagai berikut:
Pertama, Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa
Mbah Soleh Bendakerep Cirebon memberikan uang kepada Eyang Abdul Karim Awipari
untuk membeli tanah seluas satu hektar dan mengamanatkan santrinya yang bernama
Eyang Abdul Karim dan Eyang Mama Husen untuk mendirikan pesantren di Awipari.
Eyang Abdul Karim kemudian menikahkan putrinya yang bernama Siti Khodijah
(lahir tahun 1284 H/1863 M) dengan Mama Husen dan bermukim di Awipari. Dalam
sejarah Pesantren Bendakerep Cirebon disbeutkan bahwa Mbah Soleh wafat sekitar
tahun 1886 M. dengan demikian sebelum tahun 1886 M dapat dipastikan Eyang Mama
Husen telah bermukim dan mendirikan
pesantren di Awipari.
Kedua, pada tahun 1926 M KH. Masduki bin Eyang Mama Husen adalah salah satu ulama yang cukup disegani di Tasikmalaya. Dalam risalahnya KH. Ahmad Qolyubi (Mama Unung) asal Madewangi Tasikmalaya bersilaturrahmi kepada tokoh-tokoh ulama di Tasikmalaya seperti KH. Ruhiyat Pesantren Cipasung, KH. Sobandi Pesantren Cilenga dan KH. Zabidi asal Nagarakasih termasuk KH. Masduki Pesantren Awipari untuk mendukung terbentuknya NU di Tasikmalaya yang saat itu disebut Nahdoh.[17]
Kedua fakta
tersebut dapat dijadikan analisis historis bahwa keberadaan Pesantren Awipari
diyakini telah ada sebelum tahun 1900an dibuktikan dengan keberadaan maqom
Eyang Mama Husen. Pesantren ini juga merupakan pesantren yang cukup berkembang
sebelum tahun 1926 dibuktikan dengan keberadaan KH. Masduki (Mama Masduki) yang
saat itu diminta untuk mendukung berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama di
Tasikmalaya.
Karena
aktivitasnya yang sering bermukim di Mekah, maka Pesantren Awipari diasuh oleh
putra tertua Mama Masduki yang bernama KH. Busthomi, ia merupakan santri KH.
Ruhiyat Cipasung Singaparna. Hubungan antara KH. Busthomi dengan Ajenga Ruhiat
tidak hanya sebatas hubungan santri dan guru, mereka berdua juga dianggap
sebagai sosok yang sangat dekat dalam kegiatan menuntut ilmu. Dapat dikatakan
mereka berdua adalah sosok santri senior dan junior saat mondok di Pesantren
Cilenga.[18]
Gambar 6
Kebersamaan KH. Busthomi Bersama KH. Ruhiat Cipasung
Keberlangsungan
Pondok Pesantren Awipari pun mengalami beberapa pasang surut seiring dengan
pergolakan akibat serangan Kolonial Belanda. Keberadaan Pesantren sebagai
tempat perlawanan kyai dan santri terhadap penjajah mengakibatkan
pesantren-pesantren terus diawasi oleh pemerintah kolonial. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa KH. Masduki
dan KH. Busthomi merupakan salah satu kyai yang berjuang melawan penjajahan.
Dalam tekanan
itulah KH. Busthomi beserta para santri dan keluarga besarnya pernah mengungsi
ke Kampung Nyongkod Desa Nagaratengah Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya.
Pada tahun 1944
Pesantren Awipari berubah nama menjadi Pesantren
Bahrul
Ulum atas pertimbangan beberapa hal:
1.
Di Awipari kemudian muncul dan berkembang
beberapa pesantren yang secara silsilah garis keturunan dan keilmuan masih
berhubungan satu dengan yang lainnya seperti Pesantren Hidayatul Ulum,
Pesantren Hidayatul Mustafid, Pesantren Nurul Huda Cikawung dan sebagainya.
2.
Pesantren Awipari menjadi target penyerangan
pemerintah kolonial Belanda sehingga KH. Busthomi pernah mengungsi ke wilayah
Cineam.[19]
Perkembangan selanjutnya pada tanggal 1 Agustus 1955 atas gagasan KH. Busthomi beserta adiknya yang bernama KH. Olon Sahil Mawardi mendirikan lembaga pendidikan formal berupa Madrasah Tsanawiyah (MTs.) Bahrul Ulum dengan Abdul Halim dan Abdul Ghani sebagai pengajarnya. Setelah sebelumnya dirikan pula lembaga formal lainnya yaitu SMP Islam (SMPI) Tahun 1954, Madrasah Aliyah (MA) Tahun 1970 dan Taman Kanak-Kanak (TK).[20]
Saat itu Pondok
Pesantren Bahrul Ulum tergolong besar dengan 6 Asrama untuk para santrinya.
Asrama-asrama tersebut diurut berdasarkan abjad A sampai dengan F. Sayangnya
seiring dengan jaman asrama-asrama tersebut kontruksinya tidak bertahan karena
saat itu bangunan asrama yang terdiri dari dua lantai semuanya terbuat dari
kayu dan akhirnya bangunan-bangunan bersejarah tersebut direnovasi secara
total.
Pada Tahun 1968
KH. Busthomi wafat dengan meninggalkan anakanaknya yang masih kecil dan belum
dewasa, yaitu:
1.
Hj. Ojoh Mus’idah/Hj. Idah (Awipari)
2.
KH. Abdullah Muhaemin (Awipari)
3.
Kyai Unu Mujahid (Awipari) 4. Euis
Adawiyah (Awipari)
5.
Hj. Enung Ruhyati (Awipari)
6.
Hj. Eneng Mahmudah (Pesantren Sukahideng)
7.
Hj. Dede Noneng (Bandung)
8.
Hj. Cucu Nining (Bekasi)
9.
KH. Cecep Ridwan (Awipari)
Gambar 7
KH. Busthomi Sesepuh Pesantren Bahrul Ulum Awipari
Generasi ke-3
Setelah KH. Busthomi wafat, kedudukannya digantikan oleh menantu beliau yang bernama KH. Ma’sum Suhaemi (suami dari Hj. Ojoh Mus’idah/Hj. Idah putri Sulung KH. Busthomi). Setelah KH. Ma’sum Suhaemi wafat pada tahun 2005 digantikan oleh KH. Abdullah Muhaemin (putra kedua KH. Busthomi). Ia wafat pada tahun 2010 dan sekarang Pondok Pesantren Bahrul Ulum dipimpin oleh KH. Cecep Ridwan Busthomi (putra bungsu KH. Busthomi).
Gambar
8
Presiden
ke-4 KH. Abdurrahman Wahid
Saat
bersilaturrahmi dengan Keluarga Besar Pondok Pesantren Bahrul Ulum
Tidak salah apabila Zamakhsari Dhofier berpendapat bahwa kyai merupakan elemen penting dari pesantren. Perkembangan sebuah pesantren tergantung pada kemampuan pribadi kyainya. Kelangsungan hidup pesantren sangat tergantung pada kemampuan pesantren itu untuk memperoleh seorang kyai pengganti yang berkemampuan tinggi pada waktu ditinggal wafat oleh kyai terdahulu.
Ada dua
kemungkinan kelangsungan hidup sebuah pesantren setelah ditinggal oleh kyai
pendiri. Pertama, pesantren yang
semula besar dan termashur kemudian memudar dan bahkan hilang. Kedua, pesantren akan semakin besar dan
termashur, karena telah dipersiapkan calon penggantinya untuk meneruskan jejak
perjuangan yang telah dirintis oleh kyai terdahulu.[21]
Sistem kepesantrenan di Pesantren Bahrul Ulum sejak didirikan sampai sekarang masih menggunakan sistem sorogan, bandongan, dan wetonan. Kegiatan belajar dimulai dari tingkat dasar dan menengah yang dilakukan pada pagi, sore, dan malam hari. Kegiatan belajar dan mengajar dipimpin langsung oleh seorang kyai dan beberapa kyai lainnya. Adapun materi pengajarannya, antara lain, Al-Qur’an, Hadits, Akhlak, Fiqih, Ushul Fiqih, Tauhid, Tajwid, Nahwu, Sharaf, Balaghah, Tarikh, dan Ilmu Tafsir. Kitab-kitab yang menjadi rujukan pembelajaran sebagia besar masih berbahasa Arab yang ditentukan oleh kyai.
Untuk
mengembangkan dirinya sesuai amanat pada pendiri dan sesepuhnya. Saat ini
sistem kependidikan pada Pondok Pesantren Bahrul Ulum KH. Busthomi menganut
dual system:
1. Sistem Umum, dimana para santrinya merupakan anak didik yang mengikuti program pendidikan formal (SMPI, MTs dan MAN). Untuk menampung para santri ini terdapat 6 Asrama (An-Nahdliyyah, As-Su’udi, Az-Zakiyah, An-Nisa, Darul Amanah dan D Pusaka (Rusunawa).
2.
Sistem Takhossus, dimana para santrinya
merupakan santri yang khusus untuk memperdalam kitab-kitab kuning tanpa
mengikuti program pendidikan formal.
Terdapat 2
Asrama (Al-Mursyidi dan Al-Fauziyah).
Untuk
masyarakat umum, pesantren juga mengadakan pengajian mingguan, yaitu pengajian
setiap malam Rabu dengan materi Akhlak Tasawuf, pengajian setiap malam Kamis
dengan materi Qiraat Al-Qur’an, dan pengajian setiap malam Jum’at dengan materi
Yasinan dan Barjanzi.
Sebagai
pesantren tradisional, Pesantren Bahrul Ulum Awipari tidak bisa dilepaskan dari
akar Nahdlatul Ulama, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa KH.
Masduki pada tahun 1926 ikut mendukung KH. Ahmad Qolyubi dan Rd. Sutisna
Senjaya untuk mendirikan Perkumpulan Nahdoh (NU). Demikian pula KH. Busthomi
sebagai penerusnya aktif dalam organisasi NU, apalagi KH. Busthomi merupakan
santri KH. Ruhiyat Cipasung.
Untuk mengabadikan perjuangan para pendiri dan sesepuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum terhadap NU, maka nama Nahdlatul Ulama dapat dilihat dalam beberapa bangunan di pesantren ini, seperti Aula Madrasah Pesantren dan Asrama Putra yang bernama “Asrama An-Nahdliyyah”.
Penutup
Demikian
penulisan tentang Sejarah Pondok Pesantren Bahrul Ulum
Awipari
(Tahun 1900-1955) kaitannya dengan Satu Abad Pesantren Bahrul Ulum Awipari
Tahun 2020. Tulisan ini merupakan tulisan awal (draft) dan selanjutnya
merupakan pekerjaan rumah bagi keluarga besar Pondok Pesantren Bahrul Ulum
beserta para alumni untuk menggali kembali sejarah ini dengan ilmiah dan sesuai
dengan metode penelitian/penulisan sejarah (historiografi) yang mudah-mudahan
di kemudian hari terdapat data-data serta fakta-fakta baru agar sejarah
pesantren ini menjadi lebih komprehensif.
Dari catatan
penelitian yang sederhana ini dapat diasumsikan bahwa Pesantren Awipari telah
ada jauh sebelum tahun 1920 dengan pertimbangan halhal sebagai berirkut:
1.
Peranan Eyang Mama Husen dalam pendirian
pesantren di Awipari sebagai bentuk amanat dari gurunya yang bernama Mbah Soleh
dari Pesantren Bendakerep Cirebon yang wafat sekitar tahun 1307 H/1886 M;
2.
Eyang Siti Khodijah binti Eyang Abdul Karim yang
menjadi istri Eyang Mama Husen lahir tahun 1284 H/1863 M. Tradisi saat itu
seorang perempuan dinikahkan pada usia 10-15 tahun. Dengan demikian bila
melihat tradisi pernikahan saat itu, asumsinya adalah Eyang Mama Husen mulai
bermukim di
Awipari sekitar
tahun 1294-1298 H atau 1873-1878 M. Bahkan mungkin saja Eyang Mama Husen telah
bermukim (menjadi guru ngaji di tajug/masjid yang didirikan oleh Eyang Abdul
Karim) di Awipari sebelum ia menikah dengan
Eyang Siti
Khodijah;
3.
Dalam beberapa literatur tentang sejarah
kepesantrenan, sebuah pesantren biasanya
dimulai dengan didirikannya sebuah tajug (masjid). Berawal dari
tajug/masjid itulah kemudian menjadi cikal bakal Pesantren Bahrul Ulum yang
sebelumnya dikenal dengan Pesantren Awipari.
Namun tentu saja penulisan ini belum bisa dianggap komprehensif dari keautentikan sumber datanya. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut diharapkan dapat dilakukan bersama para alumni untuk untuk melacaknya dan membuat sebuah buku yang tema besarnya adalah “SATU ABAD PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM KH. BUSTHOMI AWIPARI TASIKMALAYA”.
Demikian
tulisan singkat dan sederhana ini semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Wallohua’lam.
[1] Penulis adalah Ketua ISNU
Kota Tasikmalaya dan Sekretaris PCNU Lesbumi Kota Tasikmalaya. Tulisan ini
merupakan sebuah catatan awal penelitian tentang Sejarah Pesantren Awipari
kaitannya dengan “Satu Abad Pesantren Bahrul Ulum KH. Busthomi Awipari Tasikmalaya”
pada Kegiatan Haol dan Alumni Tahun 2020.
[2] Mastuhu, “Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu
Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren”,
Indonesian-Netherland Cooperation in Islamic Studies, Jakarta,1994.
[3] Zamakhsyari Dhofier, “Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan
Hidup Kiai”, LP3ES, Jakarta,
1982, hlm. 44-60.
[4] Sulasman, “Kyai dan Pesantren dalam Historiografi
Islam Indonesia”, (Bandung: Jurnal Ilmu Sejarah Historia Madania, Jurusan
Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Bandung, Vol. 1 No.
2 Tahun 2011, hlm. 6.
[5] Ading dkk, “The Pesantren Networking In Priangan
(1800-1945)”, Diterbitkan oleh International Journal of Nusantara Islam. Lihat juga Kusdiana. 2014.
Sejarah Pesantren: Jejak, Penyebaran, dan Jaringannya di Wilayah Priangan
(1800-1945). Bandung: Humaniora.
[6] Azyumardi Azra, “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & VIII”: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di
Indonesia”, Penerbit Mizan, Jakarta, 1998.
[7] Effie Latifundia, “Perkembangan Awal Islam di Pamijahan
Tasikmalaya: Kajian Makam-Makam Kuno”,
Jurnal Purbawidya Balai Arkeologi Bandung, Vol. 1 No. 2 Tahun 2012,
hlm. 215.
[8] Lihat Louis Gottschalk, “Understunding History: A Primer of
Historical Method”, UI Press
Jakarta, 1975.
[9]
Dialog dengan KH, Endang Ajidin pada tanggal 27 April 2016 di Pamijahan. Dari
penejelasan sumber lain ada yang menjelaskan bahwa Syekh Kahfi berasal dari
Mataram.
[10] Rd. Sulaeman Anggapraja, “Sajarah Babon Luluhur Sukapura” Lembaga Komisi Sajarah Sukapura (K.S.S) Garut, 1976. Hal. 116-117.
[11] Keterangan seorang alumni Pondok Pesantren Bendakerep Cirebon.`
[12] Tentang sejarah Pesantren Bendakerep Cirebon bisa dibaca tulisan Ima Mutasim,
“Ahlul Bait KH. Faqihudin Pondok Pesantren
Bendakerep Cirebon”, dalam http.//dalilaahsanah.blogspot.co.id/
2011/06/sejarah-singkat-benda-kerep.html?m=1. Lihat juga Rina Rindanah, “Genealogi Pesantren Benda Kerep dan
Pesantren Buntet: Suatu Perbandingan”,
diterbitkan oleh Jurnal Holistik IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Vol. 14
Number 02, 2013.
[13] Keterangan mengenai Eyang
Siti Ruqiah cucu dari Syekh Abdul Muhyi dapat dilihat dari Risalah/Catatan
(Alm.) KH. Najmudin atau dikenal dengan Apa KH. Ahmaji pendiri Pesantren
Hidayatul Ulum Awipari tentang Adab-Adaban Ziarah Qubur.
[14] Rd. Sulaeman Anggapraja, “Sajarah Babon Luluhur Sukapura” Lembaga
Komisi Sajarah Sukapura (K.S.S) Garut, 1976. Hal. 119.
[15] Keterangan dari catatan
Eyang Abdul Karim, beliau menulis bahwa putrinya yang bernama Siti Khodijah
lahir tepat saat pendirian tajug/masjid di Awipari Kulon pada tahun 1284 H atau
bila dihitung berdasarkan tahun masehi adalah 1863 M.
[16] Risalah Sejarah Berdirinya
Pesantren Bahrul Ulum KH. Busthomi Awipari. Lihat juga Kusdiana. 2014. Sejarah
Pesantren: Jejak, Penyebaran, dan Jaringannya di Wilayah Priangan (1800-1945).
Bandung: Humaniora, Hal. 144.
[17] Risalah KH. Ahmad Qolyubi Madewangi disempurnakan oleh Putranya KH. Muhammad Tobibuddin Qolyubi. Lihat juga http://ansor-tsm.or.id/2016/10/17/kh-ahmad-qolyubirois-syuriah-pertama-nu-cabang-kota-tasikmalaya/
[18] Risalah Sejarah Berdirinya Pesantren Bahrul Ulum KH. Busthomi Awipari.
[19] Ibid.
[20] Lihat juga https://mtsbahrululumawipari.wordpress.com
[21] Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan
Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, 1982, hal. 61.
0 Komentar