Kompilasi Tematik,
Sebuah Arus Balik
Pemantik Diskusi
Ngariung di Bandung bersama Yudhistira ANM Massardi[i]
Oleh Nizar Machyuzaar
/1/
Tahun 2021 Sastrawan Yudhistiwa
ANM Massardi menerbitkan buku puisi Kuartet,
Sektet, Sains, dan Corona. Buku yang diterbitkan Media Panduan Sentra ini
memuat 141 puisi dalam rentang tahun 2020—2021. Seperti buku puisi Jangan Lupa Bercinta (2018-2020), Yudhistira
mengalirkan kreativitas kesastraannya dalam genre puisi dengan beragam
pemodelan teks.
Alih kode pemodelan teks puisi
yang menjadi kekuatan puisi-puisi Yudhistira dapat ditempatkan dalam dua sisi,
yakni sebagai gejala bias genre teks puisi yang dapat melemahkan bentuk yang
dipilih atau gejala penjelajahan bentuk yang kemudian menghasilkan kode teks
hibrid, yang saya istilahkan transgenre[ii].
/2/
Yang menarik, buku kumpulan puisi
terbaru ini tidak hanya menjelajahi model-model teks puisi, tetapi juga menjelahi
beragam tema yang menyertai kepenyairan Yudhistira pada rentang dua tahun
terakhir. Penyertaan model teks kuatrin, sektet, dan bebas setidaknya dapat
dianggap penjelajahan dalam pemodelan bentuk teks puisi. Sementara itu,
penyertaan tema peristiwa dan makna dalam kehidupan sehari-hari (tematik sektet
dan kuatrin), sains (tematik sains), korona (temarik corona), eksistensialisme
(tematik 2021), dan romantisme (tematik In Memoriam) dapat dianggap sebagai
pemodelan isi teks puisi.
Karenanya, buku kumpulan puisi ini
dapat dianggap sebagai kompilasi pemodelan tematik puisi. Namun, sebelum
membahas hal tersebut, kita mungkin perlu membuka kembali biografi kekaryaan
seorang Yudhistira yang serbapiawai dalam menulis. Selain menulis puisi, Sang
eMpunya buku ini juga dikenal piawai dalam menulis beragam genre sastra. Dalam
genre prosa, novel Arjuna Mencari Cinta I—IV, beberapa kumpulan cerita pendek,
dan beberapa buku biografi ditulisnya. Dalam genre drama, selain menulis naskah
dan mementaskan drama, Sang eMpunya buku ini juga menulis skenario film. Wajar
saja, jika dalam puisi-puisinya, kedua genre sastra ini memengaruhi pemodelan
bentuk dan isi teks puisinya.
/3/
Kuatrin menjadi bentuk pemodelan
teks puisi yang dipilih dan menjadi tematik pertama buku ini. Ada lima puluh puisi
dengan empat baris beruntai dipilih untuk membakukan pengalaman-pengalaman
keseharian. Pemolaan larik disusun dalam kata (“Kuatrin Pagi”, hlm 19) dan
kelompok kata (frasa dan klausa,
“Kuatrin Rama-rama”, hlm 4). Rima dan ritme disusun dengan bebas dengan mengataskan
ekspresivitas makna diksi. Saya kutip utuh satu contoh kuatrin yang berasal
dari peristiwa dan makna keseharian, tetapi mampu disublimkan ke dalam
pengucapan puitis beriktu ini.
Kuatrin Sehabis Hujan
Hujan menyisakan bintik di dahan
Seperti mutiara kenangan
Atau hal-hal yang ingin kita lupakan
Seperti kemarau melukai tanaman.
/4/
Sektet menjadi bentuk teks puisi kedua yang dipilih. Tematik kedua yang
terbaca dalam delapan sektet ini tidak jauh berbeda dengan tematik kuartet. Namun,
pada “Sektet Tiga Pasal” (hlm. 32) terasa permenungan atas pengalaman
keseharian berangkat dari eksternalisasi atas peristiwa objektif ke
internalisasi makna subjektif. Diksi kata,
rasa, dan kita dijalin dalam hubungan kausalitas. Hasilnya, ketiga diksi
tersebut mampu membatinkan sebentuk pengalaman dan pengetahuan hidup dalam
kedirian pembaca karena disampaikan dengan gaya bahasa personifikasi dan paradoks.
Berikut saya kutip utuh puisi tersebut.
Sektet Tiga Pasal
Bunga menerjemahkan kata
Dengan bahasa yang belum ada
Kata menerjemahkan rasa
Dengan bunga tidak bernama
Rasa menerjemahkan kita
Dengan pintu setengah terbuka.
/5/
Lain hal dengan dua tematik sebelumnya yang mengataskan bentuk daripada
isi, pemodelan teks puisi bebas dipilih pada tematik sains dalam 28 puisi.
Mungkin, pertimbangan tematik sains yang rigorus mengakibatkan ekspresivitas
makna larik menolak untuk diseragamkan dalam satu model. Hal ini juga dapat
dibaca sebagai tegangan antara orientasi sains yang terobsesi mencapai keumuman
dalam memerikan hal di luar dirinya (objektivitas) dan orientasi seni (baca:
puisi) yang asik-masyuk menyelami kekhasan persepsi inderawi dan abstraksi
akali yang unik saat bersentuhan dengan sesuatu di luar dirinya
(subjektivitas). Apalagi, kecenderungan pemikiran mutakhir pascaatomisme
(metafisika) mau menelisik sub-subatom yang semakin menolak terperikan sains.
Dalam tematik ini, Sang eMpunya buku berusaha memformulasikan berbagai
pemikiran mutakhir Barat dengan puisi. Ada nada nihilis seperti dalam bait
//Seperti patung/Memahat waktu/ Seperti buku/Memahat debu// (“Sains”, hlm. 38).
Ada nada skeptis terhadap filsafat sebagai moyang sains atau ilmu pengetahuan
yang menyusun peradaban modern, seperti terbaca dalam bait //.../Biar sesat
detik/Sebelum nyawa dipetik/Saat filsafat sekarat/Sebelum mangkat//. Nada skeptis
juga terbaca terhadap agama, yakni pada bait //Biarlah agama kehilangan nama/Sudah terlalu
lama/Memalsukan makna//.
Namun, karena Sang eMpunya puisi lahir dari aras pemikiran Timur, nada
nihil dan skeptis tersebut tidak disandarkan pada kuasa akal atas manusia dan
alam. Konklusi yang paling ekstrem dan rasional atas persoalan ini, boleh jadi,
adalah tawaran bunuh diri, seperti tersaran salah satu pemikirnya. Namun, dalam tematik sains ini Sang eMpunya puisi
menautkan kedua nada tersebut pada kekuatan yang melampaui kesadaran manusia
sebagai makhluk menyejarah. Hal ini terbaca dalam bait //Apa yang (hendak) kau
jumpai/Sesudah Apa/Hampa/Selain Dia?//. Satu jawaban yang terus-menerus
dilontarkan Sang eMpunya puisi adalah Cinta (“Hujan Hari Rabu”, hlm. 51 dan
beberapa puisi lainnya) dalam C kapital.
Mungkin, saya merasa bahwa sejumlah besar puisi berikutnya tidak cukup
kuat mengusung tematik sains. Semetara itu, puisi-puisi yang terbicarakan di
atas memiliki relevansi untuk mengusung tematik sains. Puisi “Melati di Pagar
Besi”, “Nyanyian Hari Tua”, “Semangkuk Solo”, dan lainnya tidak cukup lugas
menguatkan tematik sains. Atau, mungkin Sang eMpunya puisi memiliki pertimbangan
lain yang abai dari amatan saya.
/6/
Satu pertimbangan yang membuat tematik sains dijadikan salah satu
kompilasi judul buku puisi ini adalah dua tematik sebelumnya yang sah berada
dalam ranah sastra, yakni tematik kuatrin dan tematik sektet. Sementara itu,
dalam rentang penulisan 2020—2021, Sang eMpunya puisi mengalamai bencana alam,
yakni terpapar virus korona. Pengalaman ini tentu memiliki makna yang mendalam
bagi Sang eMpunya puisi.
Hali ini terbaca dalam tematik corona.
Untuk membuat keutuhan judul buku ini, yakni tematik kuatrin dan sektet ke
tematik corona diperlukan jembatan
naratif yang merasionalkannya. Pemilihan tematik sains menjadi tepat karena bencana
alam korona erat berhubungan dengan wacana keilmuan.
Dari keenam belas puisi dalam tematik korona, permenungan eksistensial
lugas terasa. Drama pandemi korona mengantarkan manusia ke batas akhir
permenungan akan hidup, yakni maut. Tentu, bukan sebuah kebetulan jika dalam
tematik sains, terbaca batas akhir filsafat, sains, dan (boleh jadi) seni yang
menyadarkan manusia untuk menerima pengetahuan lebih awal, yakni mitos. Saat
nalar sains mendestruksi dirinya sendiri, menghasilkan pandemi biologis berupa
virus, saat tersebut menyadarkan manusia bahwa betapa rapuhnya kuasa (akal)
manusia atas tubuh dan alam. Hal ini terbaca dalam puisi pertama tematik korona
sebagai berikut ini.
Dan Senyap Bermahkota
Dan senyap bermahkota
Di bumi hilang takhta
Ketika corona tiba
Seperti kudeta
Kota-kota lindap
Lumpuh
Hilang gerak
Kecuali maut
Hanya maut
Hanya maut yang berarak
Seperti defille sesak
ke kubur-kubur
Bunga tak ditabur
Pengantar gentar
Semesta duka
Seperti musim gugur
Abad gugur.
/7/
Sebetulnya, ada dua tematik yang tidak terbahas, yakni tematik 2021 (26
puisi) dan tematik In Memorial (13 puisi). Saya hanya membahas empat tematik
sesuai judul buku. Saya sudah membahas sekilas isi dua tematik terakhir ini di
poin /2/. Tentu, ulasan pemantik diskusi ini harus saya akhiri dengan
romantisme.
Jika kita menganggap bahwa Novel Arjuna
Mencari Cinta sebagai (hipo)tesis yang tersaran biografi Yudhistira sebagai
sastrawan dalam genre prosa, mungkin, sampai saat ini kita belum menemukan (sin)tesisnya.
Namun, hal ini berbeda dalam genre puisi. Yudhistira mengalami arus balik
setelah terarus dalam ranah jurnalistik (1986—2009) dan pendidikan (2010—sekarang).
Maksudnya, dalam wawasan kepuisian Yudhistira, saya menemukan tegangan estetis
antara fase awal atau (hipo)tesis dalam [buku kumpulan puisi Sajak Sikat Gigi (1977), Rudi Jalak Gugat (1982), dan Syair Kebangkitan (1985)] dan fase akhir
(sin)tesis dalam (buku kumpulan 99 Sajak (2015),
Perjalanan 63 Cinta (2017), Luka Cinta Jakarta (2017), Jangan Lupa Bercinta (2020), dan Sektek, Kuatrin, Sains, dan Corona (2021).
Lebih spesifik, wawasan estetis Sajak
Sikat Gigi versus Jangan Lupa
Bercinta. Tentu, hal ini perlu dikaji lebih lanjut.
Mangkubumi, 14 November 2021
[i] Diskusi
Ngariung di Bandung bersama Yudhistira ANM Massardi digagas Teater Bel dan
Radio Bla Bla pada hari Minggu, 14 November 2021
0 Komentar