Dr. Asep Salahudin
Tasikmalaya bukan sekadar penanda sebuah kota, tetapi melekat di dalamnya hasrat setiap kita untuk mendorongnya menjadi “ruang publik” terbuka yang mampu meluhurkan kemanusiaan, ramah lingkungan dan inklusif. Tentu saja, tidak semua hasrat mulia itu mampu diwujudkan para pemangku kebijakan secara saksama.
Pada kenyataannya, antara yang seharusnya dengan senyatanya senantiasa membentangkan ketegangan. Di titik ini sering mencuat aneka masalah yang tak terurai, paradoks tidak terhindarkan dan ambiguitas seolah menyatu dalam riwayat tubuh kota.
Bunga rampai ini adalah rekaman peristiwa pada suatu masa yang arus utama temanya mendaftar masalah itu sekaligus menawarkan jawaban yang diyakini dapat menyelesaikan persoalan dan atau membiarkan setiap kita mencarikan jawabannya sendiri berangkat dari penggalan pengalaman keseharian masing-masing dan atau pertanyaan itu terus dirayakan tanpa dibebani kewajiban menyodorkan kepastian jawaban.
Toh pada kenyataannya, acapkali pertanyaan lebih memiliki kemampuan dalam merumuskan konsep diri kekitaan dan kekotaan ketimbang jawaban. Pertanyaan (dan gugatan) merupakan modus eksistensial yang membuat kehadiran “politik” menjadi “ada” dan bisa mengangkat kita dari kahidupan tidak manusiwi (la vita nuda) sekaligus mengembalikan normalitas kota pada prinsip dasar demokrasi yang menjadi kesepakatan bersama: supremasi hukum, check and balancing, distrubisi kesejahteraan, kesetaraan, pelayanan publik, relasi nondiskriminatif.
Melalui serat kata-kata yang disusun empat penulis kita disadarkan pada sebuah kenyataan bahwa manusia tidak cukup sekadar kerja (homo faber), tetapi juga harus mengerahkan daya pikir (homo sapiens), terampil menafsir simbol (homo symbolicum), termasuk mengungkap klaim kedaruratan yang kerap digunakan rezim demokrasi untuk melegitimasi segenap tindakannya yang meyimpang (homo sacer).
Maka, di sinilah misalnya kita diajak Asep Chahyanto untuk merenung ulang modernisasi, pasar, industri, dan pentingnya revitalisasi budaya lokal; Dedi Sufyadi mengundang kita mendiskusikan ihwal marjinalisasi pertanian, koperasi yang semakin kehilangan roh, disorientasi pembangunan dan bangsa yang mengalami defisit imajinasi; Erlan Suwarlan yang menyerukan pentingnya politik dipulangkan pada khitahnya sehingga setiap hajat demokrasi tidak berhenti sebatas gelora electoral, tetapi menyentuh dasar substansialnya; dan ditutup Maulana Janah yang mempercakapkan bagaimana semestinya membumikan nilai-nilai agama di tengah masyarakat multikultural, memaknai negara dan memosisikan rakyat dalam konteks derap pembangunan, pendidikan, dan kekuasaan yang semakin oligarkis dan kehilangan jati diri.
Tentu saja, tidak kalah urgennya adalah menampilkan manusia Tasikmalaya sebagai “homo ludens”. Jangan-jangan, Tasikmalaya dan Priangan Timur pada umumnya yang dalam sepuluh tahun terakhir ditenggarai sebagai biopolitik dengan tendensi puritanistik dalam segala bidang asal-usulnya karena sudah kehilangan sensitivitas humornya, tercerabut dari akar budaya. Lupa pada amanat Galunggung yang diwasiatkan leluhurnya.
Menarik menyimak filsuf Johan Huizinga (1872-1945) dalam Homo Ludens; a Study of Play Element in Culture yang menyimpulkan bahwa riwayat kebudayaan setua hikayat permainan yang dimainkan manusia itu sendiri “Play is Older Than Culture”. “...it was not my object to define the place of play among all other manifestations of culture, but rather to ascertain how far culture itself bears the character of play."
Sebuah kota harus dihayati segenap kita dengan riang sebagaimana agama dialami semua pemeluknya dengan gembira. Warga kota bisa memainkan politik bukan dimainkan politik. Memainkan agama bukan dimainkan agama. Dengan cara sepeti ini kemungkinan besar warga akan senang. Permainan menjadi fungsi manusiawi yang melahirkan semua kebudayaan sejak dari awal. Tentu saja, salah satu aspek ontologis permainan adalah kesenangan itu. It is fun.
Lima ciri khas permainan menurut Huizinga adalah: Play is free, is in fact freedom Play is not “ordinary” or “real” life. Play is distinct from “ordinary” life both as to locality and duration. Play creates order, is order. Play demands order absolute and supree. Play is connected with no material interest, and no profit can be gained from. (1) memberikan ruang kebebasan bagi manusia dan menyalurkan kebebasan itu ke tingkat paling sempurna; (2) permainan sebagai panggung yang bukan sekadar “biasa”; (3) melampaui sejarah rutinitas; (4) permainan mensyaratkan serangkaian peraturan yang harus ditaati oleh seluruh pemain, menghajatkan sportivitas, fairplay, dan kesungguhan; (5) Permainan tidak melulu bertalian dengan keuntungan kebendaaan (profit) yang dapat diperoleh darinya.
Kita pada mulanya adalah kata. Kata “yang dimainkan” kemudian menjadi bahasa. Dalam bahasalah dibangun negara, dipecah menjadi kota lengkap dengan risalah otonomi daerah dan desentralisasi yang dibayangkan dapat meresapkan rasa keadilan merata pada segenap warga. Dengan kekuatan bahasa, rute keadilan dibentangkan sekaligus jalan demokrasi ditunjukkan.
Namun, pada saat yang sama melalui bahasa juga ketidakadilan kita rasakan dan kekuasaan menebarkan ketakutan. Lewat bahasa syair dangdut yang meliuk-liuk disusun, melalui bahasa di Tasikmalaya pula perda syariah dipropagandakan walaupun hanya sebatas mengganti plang sebuah jawatan dengan Arab pegon dan atau menjadi provokasi bagi anggota dewan dan pejabat pemerintahan untuk berpoligami secara sya’ri atas nama Sunnah Nabi. Bahasa juga yang fasih menyembunyikan diksi korupsi menjadi frasa “hibah” sehingga nampak religius dan berfaidah.
Pada bahasa, politik (dan agama) yang subjeknya langsung manusia menjadi seni serta menyatu di dalamnya kesanggupan mengontrol masyarakat dalam rangka bersama-sama membangun negara kota (polis-state) dan kewenangan mengalokasikan nilai-nilai (authoritative allocation values). Sejak purba, zaman Yunani kuno, bahkan kata, kita, dan kota dipikirkan secara serius, komprehensif, dan radikal.
Agar kata menjelma kota yang berkeadaban dan kita sebagai penghuninya dapat hidup nyaman, hirup panggih jeung huripna, maka pada abad pertengahan al-Farabi merasa perlu menulis Madina Al-Fadila (Negara Utama) dan Siyasat al-Madaniyah (Pemerintahan Politik).
Dengan cara seperti ini, kita bisa berkelit dari keterasingan material (Marx), keterlemparan esksitensial (Sartre), sekapan absurditas (Camus), keterjatuhan kepada dosa (doktrin Yahudi, Kristen, Islam, Budha, dan Hindu). Kota yang dikelola dengan waras akan menciptaan warganya menjadi “manusia politis” yang menjunjung tinggi keluhuran “yang politik” (jujur, anamah, tanggung jawab, dan tidak korup) dan secara tidak langsung politik pun menjadi art politica (seni berpolitik) yang dijangkarkan pada politike episteme (nalar politik) dan siasat mewujudkan kemustahilan menjadi kemungkinan (art possible).
Jika tidak seperti itu, kota akan serta-merta menjadi sesat (the erring city), bodoh (ignorant), dan jahat (the wicked city), dan indeks mutu manusianya otomatis mengalami kemerosotan dalam berbagai hal (deliberately change). Buku menarik dengan aneka perspektif ini menjadi interupsi agar Tasikmalaya tak menjadi kota gelap sepanjang masa.
Suryalaya, 5 Oktober 2019
Dr. Asep Salahudin
*Tulisan ini dibuat untuk memberi pengantar pada buku bunga rampai opini empat penulis, yakni Asep Chahyanto, Dedi Sufyadi, Erlan Suwarlan, dan Maulana Janah, yang berjudul Tasikmalaya dalam Sepenggal Masa.
**Tulisan ini terbit ulang atas seizin penulis dan penerbit Mata Pelajar Indonesia
***Tentang Penulis
Dr. Asep Salahudin adalah seorang akademisi yang tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa nasional. Selain tercatat sebagai dosen di Isntitut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Suryalaya, penulis juga diamanahi sebagai ketua Lakspesdam NU Jawa Barat. Kini, Ia menjabat sebagai rektor di kampusnya.
0 Komentar